the little sweet damn things
sadness, happiness, laugh, cried, hurt
Sunday, October 30, 2011
Monday, October 3, 2011
galau
suatu hubungan itu gak akan selalu berjalan mulus. suatu saat, kita juga pasti akan menemukan titik kejenuhan. bagaimanapun juga, ingat pepatah dulu, tidak ada yang abadi di dunia ini. semua itu tergantung bagaimana kita dapat mempertahankannya.
gue takut. akhir-akhir ini gue ngerasa ada yang salah di hubungan gue. sebenernya siapa sih yang berubah? gue gak mau kejadian yang dulu-dulu keulang lagi. gue gak mau :(
gue takut. akhir-akhir ini gue ngerasa ada yang salah di hubungan gue. sebenernya siapa sih yang berubah? gue gak mau kejadian yang dulu-dulu keulang lagi. gue gak mau :(
you came into my life on a simple way
told me you love me almost everyday
showed me happiness and made me smile
i started to love you after awhile
my wish is that our love may never die
i wished that from the day we gave us a try
when i woke up this morning you were on my mind
love you completely althought they say love is blind
forever yours that's how i feel
i trust you comnpletely for real.
Monday, September 26, 2011
Barra -my short story-
Duk... Duk... Duk...
Suara Dribble-an bola basket masih terdengar samar-samar diantara derasnya hujan. Dialah Barra, cowok yang nekat bermain bola basket disaat cuaca tidak memungkinkan. Seluruh tubuhnya basah diguyur hujan. Ia melakukan gerakan lay-up. Seketika bola berputar-putar mengelilingi ring basket sampai akhirnya..
Yup! Masuk.
Barra segera menangkap bola basket kesayangannya, lalu kembali mendribble-nya.
Ia hanya sendiri di lapangan sekolah yang sepi ini. selama beberapa menit ia hanya mendribble bolanya sampai akhirnya ia kelelahan lalu melempar bola basket itu dengan kencang hingga terpantul-pantul tak beraturan. “Aaarrghh!!!” Teriak cowok itu sambil menengadahkan kepalanya ke langit. Kemudian ia jatuh terduduk, menjambak-jambak rambutnya sendiri.
“Sampai kapan lo mau disini??” Ucap sebuah suara, memecah kesunyian yang sedari tadi menyelimuti. Barra menoleh kebelakang dan mendapati seorang cewek berpayung merah muda dengan motif hati berwarna ungu sedang menatapnya iba.
“Arin..” Gumam Barra untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa makhluk yang ia lihat saat ini adalah Arin, sahabatnya. Barra bangkit berdiri, memelototi cewek itu. “Ngapain lo masih disini? Cewek idiot! Udah gue bilang, gue lagi pengen sendiri! Jangan ganggu gue! Pergiiii!!!” Teriak Barra, berusaha menyaingi suara hujan yang semakin deras.
“Tapi lo bisa sakit, ra. Please, kali ini aja, dengerin gue. Gue tau ini berat buat lo, tapi lo harus kuat. Lo tuh udah kayak orang depresi tau gak? Sekarang, pulang yuk. Ayo, ikut sama gue.” Arin mengulurkan tangannya.
Barra tetap acuh. “Gue emang udah depresi. Mungkin sebentar lagi gue bakal jadi gila.” Ucap Barra dengan tatapan kosong. “Kenapa? Kenapa tuhan itu nggak pernah adil sama gue?? Dua tahun yang lalu, tuhan ngambil ayah dari gue. Sekarang?? Sekarang tuhan ngambil nyokap gue! Nyokap gue, rin! Orang yang paling berharga dalam hidup gue, sekarang udah gak ada. Kali ini gue bener-bener sendiri. Gue gak punya siapa-siapa!”
Arin menatap Barra lirih. Seandainya ia yang berada di posisi Barra, mungkin fikirannya sudah kacau dan akan memutuskan untuk bunuh diri. Tindakkan bodoh. Untung saja Barra bukan tipe lelaki yang suka bertindak konyol.
“Kenapa nggak gue aja yang pergi?? KENAPA??” Jeritan Barra terdengar putus asa. Arin refleks memeluk pria itu. Payung yang sedari tadi ia genggam terlepas dari tangannya, diterbangkan oleh angin.
“lo ngomong apa sih? Kemana Barra yang gue kenal? Yang selalu kuat, yang selalu tegar, yang nggak lembek dalam menjalani hidup? Masih banyak yang sayang sama lo, Ra.” Arin berusaha menguatkan.
Air mata mengalir dipipi Barra bersamaan dengan tetesan hujan yang membasahi wajahnya. “Untuk kali ini aja Rin, izinin gue buat nangis. Untuk kali ini aja..” Bisik Barra, lirih. Arin mengangguk. Pelukannya semakin erat.
***
Arin:
Aku dan Barra bersahabat sejak duduk di bangku SMP. Awalnya, ku fikir Barra adalah cowok dingin yang sombong, angkuh, dan tidak punya perasaan. Tapi penilaianku terhadapnya ternyata salah besar ketika suatu hari..
“Heh, cewek belagu, sini lo!” Teriak sebuah suara cempreng yang memanggilku dengan sinisnya.
Aku menoleh. Ternyata kak Veril dan genk-nya. Aku kenal mereka. Bukan hanya aku, mungkin seisi sekolah juga kenal dengan mereka. Bagaimana tidak, kak Veril adalah penyumbang dana terbesar untuk yayasan sekolah kami. Dia cantik, tinggi putih, ketua cherleader, dan tentunya-ehm-tajir. Banyak cowok-cowok yang mendekatinya, tapi akhirnya mereka semua hanya bertahan tidak lebih dari dua minggu. Dan sekarang, mau apa dia memanggilku?
Aku menghampirinya ragu, berusaha bersikap biasa, padahal dalam hati takut setengah mati. Di hari pertama mengenakan seragam putih-biru, kenapa harus mendapatkan masalah? Dengan orang seperti kak Veril pula. “Kenapa kak?”
“Nama lo siapa?” Tanya kak Veril dengan wajah angkuhnya. Teman-temannya melirikku jijik, dan aku tidak suka dengan suasana seperti ini.
“Arin. Arinda putri wijaya.”
“Oh. Namanya pasaran ya? Hmm.. oke, gue Cuma mau bilang, kalau gue gak suka liat cara jalan lo! Lo itu masih kelas satu, jadi jangan sok deh! Terus baju lo. Sengaja lo kecilin, ya? Lo mau nyaingin gue? Lo fikir lo cantik apa??”
DEG! Mukaku langsung panas. Apa yang salah? Hanya karena caraku berjalan, dan bajuku ini, lalu dia marah-marah? Aku menatapnya kesal. Siapapun dia, aku tak suka di perlakukan seperti ini.
“Apa lo liat-liat? Nantangin gue lo?!”Jerit Veril tepat di depan mukaku, membuat orang-orang mengerumuni kami.
“Jadi kakak marah-marah sama saya Cuma karena masalah itu doang? Sepele banget sih kak. Kakak juga nyadar diri dong, emangnya kakak sendiri cantik?”
Veril melotot. Tangannya terayun, siap menamparku. Aku memejamkan mata, pasrah menanggung malu yang menggunung. Tapi..
“Stop!” Aku tersentak. Seorang cowok berperawakan tinggi tegap sudah berdiri dihadapanku, mencengkram erat lengan Veril. “Jangan mentang-mentang lo senior, dan kita junior, lo jadi seenaknya sama kita. Bagi gue semuanya sama.” Tegas cowok itu sambil mendorong Veril dan melepas cengkramannya.
Veril ingin mengamuk. Tapi amarahnya tertahan ketika ia tahu bahwa cowok itu adalah Barra, adik kelas yang sejak masa MOS lalu ditaksirnya.
“Awas lo ya, masalah kita belum selesai.” Bentak Veril sambil berlalu pergi diikuti kawanannya.
“Huuu..” Teriak semua orang pada Veril. Satu-persatu kerumunan itu pergi dan akhirnya menghilang.
“Makasih.” Ucapku saat itu sambil tersenyum pada Barra. Sejak saat itu, aku kagum padanya. Dan sejak saat itu pula, kami berdua seperti tak terpisahkan. Hingga akhirnya kami menjadi begitu sangat dekat.
Barra, enam tahun bukanlah waktu yang sebentar. Sebagai seorang wanita, perlahan-lahan perasaanku padanya berubah. Aku menyayanginya, bukan hanya sebagai seorang sahabat. Aku menyayanginya lebih dari itu. Aku ingin memilikinya, ingin selalu berada di dekatnya. Tapi aku takut. Aku takut bila barra mengetahui perasaanku yang sebenarnya, ia akan menjauh dariku, sama seperti gadis-gadis lainnya. Jadi, aku lebih memilih untuk memendamnya saja. Entah sampai kapan.
***
“Hey, Barra, mau kemana buru-buru pergi?” Arin berlari mengejar Barra yang sudah melangkah jauh. Tidak biasanya cowok itu bersikap dingin padanya. “Barra!”
Barra menoleh dengan tatapan malas, tanpa ekspresi. Ia menatap Arin yang menghampirinya dengan susah payah. “Apa?” Tanya cowok itu setelah Arin berhasil menjajari langkahnya. Mereka kembali berjalan.
“Lo mau langsung pulang?” Tanya Arin sambil mengatur nafasnya yang terengah-engah. Yang dimaksud pulang adalah pulang ke rumah tantenya. Sejak menjadi yatim piatu, Barra tinggal bersama tantenya yang seorang janda dan tidak mempunyai anak.
“Entahlah.”
Arin menatap Barra. Ada yang lain di wajah tampan itu. Seperti ada beban yang amat sangat berat bergelayutan dibahu cowok itu. “Barra, kalau lo lagi ada masalah, lo bisa cerita sama gue. Bukan baru kemarin gue kenal lo. Gue hafal banget sifat lo. Sejak tadi pagi lo berubah jadi pendiem. Dan kalau kayak gini, pasti lo lagi ada masalah dan mendem masalah itu sendirian. Ayolah, siapa tau gue bisa ngasih solusi?”
Barra kembali menatap Arin dengan malas. “Lo sok tau.” Ucapnya sambil melangkah lebih cepat.
Arin terdiam. Ia berhenti mengejar Barra. Ada apa sebenarnya dengan cowok itu? Yang tadi itu seperti bukan Barra. Sikapnya benar-benar berbeda. Arin menatap punggung cowok itu yang semakin menjauh, lalu akhirnya hilang dari pandangan.
***
“Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada diluar service area. Cobalah beberapa saat lagi.”
Nit!
Arin menekan tombol merah di handphone-nya. Ia berusaha menghubungi Barra, namun sedari tadi hanya suara operator yang terdengar. Ponsel Barra tidak aktif. Sekali lagi, ini tidak seperti biasanya. Akhirnya Arin menghubungi nomor rumah tante Siska, tante-nya Barra.
“Halo, selamat malam?” Sapa suara disebrang dengan nada ramah.
“Selamat malam tante. Aku Arin, temannya Barra. Barra-nya ada tante? Dari tadi aku hubungi ponselnya tapi gak aktif.”
“Oh, nak Arin. Kalau tidak salah, tadi Barra bilang dia mau ke taman kota. Gak tau deh dia ngapain malam-malam begini ke taman. Tadi sih dia perginya bawa mobil.”
Arin terdiam. Benar dugaannya, pasti ada yang disembunyikan. “Gitu ya. Yaudah deh tante. Makasih ya.”
“Iya, sama-sama.”
Tut.. tut.. tut..
Telpon diputus. Arin menghela nafas setelah akhirnya ia memutuskan untuk menyusul Barra ke taman kota.
***
Malam ini dingin sekali. Berkali-kali Arin terbatuk lalu merapatkan jaketnya. Ternyata taman kota tidak sesepi yang ia bayangkan. Ia baru ingat kalau hari ini adalah hari sabtu, malam minggu. Tidak sulit mencari sosok Barra ditengah banyaknya orang yang berlalu lalang, karena sebelumnya ia juga sering menemani Barra kesini, dan mereka selalu memilih tempat di dekat air mancur yang sekelilingnya dihiasi lampu-lampu terang warna-warni.
“jahat ya lo, gak bilang-bilang kalau mau ke taman kota.” Ucap Arin secara tiba-tiba, membuat Barra tersentak kaget, terbangun dari lamunannya. Ia segera duduk disebelah Barra, dibangku taman yang nyaman.
“Lo tuh ganggu gue terus deh!”
Arin tersenyum, tak peduli dengan amukan Barra. Angin malam membelai wajahnya, menyapu rambut lurusnya yang terurai panjang. Ia menatap Barra. “Hey, lo nangis?” Seketika senyum Arin memudar.
Barra memalingkan wajah.
“Barra, sebenarnya ada apa sih?”
“Arin, lo tau gak, seberapa sayangnya gue sama lo?”
Deg! Jantung Arin seperti berhenti berdetak. Mukanya memerah.
“Mungkin untuk saat ini, lo adalah harta terindah buat gue, setelah tante gue tentunya. Lo gak tau gimana rasanya kehilangan orang yang kita sayang. Nyokap gue pergi, Bokap gue pergi, dan setelah ini, gue harus kehilangan lo Rin. Bentar lagi kita lulus. Kita sekarang bukan anak kecil lagi. Setelah ini, kita bakal tau apa itu hidup yang sebenarnya. Gak bakal lagi ngerasain serunya pakai seragam putih-abu, gak bakal lagi bisa ketawa-ketawa sama temen sekelas, gak bisa lagi ngejailin guru, dan yang paling penting, gue gak bisa lagi denger tawa manja lo.”
Arin menggigit bibir. Itukah penyebab berubahnya sikap Barra? Hanya karena takut kehilangan dirinya? Ah, rasanya tidak mungkin. Pasti lebih dari itu.
“Arin, apa setelah lulus nanti gue masih bisa ketemu lo? Bercanda-canda lagi kayak dulu?” Tanya Barra sambil menerawang, lebih ditujukan untuk dirinya sendiri.
“Ya, tentu. Kita masih bisa ketemu. Gue bakal sering-sering main kerumah tante lo. Karena gue juga gak bisa jauh-jauh dari lo.”
Barra tersenyum. “Rasanya gak mungkin.”
Arin hanya mengernyit bingung mendengar pernyataan Barra. Tapi ia enggan menanyakan alasannya. Hawa dingin kembali menyeruak, membuat Arin kembali merapatkan jaketnya. “Pinjem bahu lo.” Ucapnya polos, sambil bersandar di bahu Barra.
Barra tersenyum melihat tingkah Arin. “Lo sahabat terbaik gue. Gue sayang lo Rin.” Bisik Barra, lalu merangkul Arin.
Arin memejamkan matanya. Nyaman sekali. Rasanya ingin seperti ini terus. Rasanya tak ingin berpisah dari Barra. Tapi, bukankah setiap ada pertemuan pasti ada perpisahan?
Ah, Barra, seandainya lo tau, gue sayang sama lo lebih dari yang lo kira. Gue gak mau kehilangan lo.
***
Dan hari ini akhirnya tiba. Hari kelulusan, sekaligus perpisahan. Arin tak henti-hentinya berdecak kagum menatap bayangan dirinya di cermin. Benar-benar berbeda dengan Kepribadian Arin yang biasanya cuek, sradak-sruduk, dan rada tomboy. Hari ini ia tampil berbeda. Celana jeans-nya diganti dengan kain songket berwarna krem dengan motif bunga yang menghiasinya, lalu t-shirt lusuhnya diganti dengan kebaya cantik warna senada. Rambut panjangnya yang biasanya dikuncir asal-asalan kini di cepol atas. Lalu wajahnya, Arin benar-benar tak mengenali dirinya sendiri. Make-up natural menyapu wajahnya yang manis. Hidungnya terlihat lebih mancung dari bentuk aslinya. Mama sampai berulang kali berteriak karena sedari tadi yang dilakukannya hanya bercermin dan bercermin.
“Kamu itu, lelet banget deh. Ayo cepat sarapan dulu. Nanti kamu terlambat.”
Arin cengengesan gak jelas, lalu berjalan cepat ke meja makan. Mama mengerutkan alis menatap tingkah Arin. “E,e,eh, udah cantik-cantik pakai kebaya, kok jalannya masih kayak preman gitu sih? Yang anggun dong.”
Sekali lagi Arin terkekeh, lalu cepat-cepat menyambar roti panggang dihadapannya. “Ternyata aku gak jelek-jelek banget ya? Hahaha..”
“Siapa dulu ibunya. Udah ah, dari tadi kamu ketawa-ketawa terus. Nanti nangis loh!”
Arin terdiam. Ia jadi ingat Barra. Kemana cowok itu? Tidak ada sms, tidak ada telpon, tidak ada kabar. Bukankah sebelumnya Barra janji akan menjemputnya?
“Ma, aku berangkat sekarang ya.”
“Nggak di jemput Barra?”
“Kayaknya nggak deh, udah sesiang ini. Mungkin Barra udah berangkat duluan.”
“Ya sudah. Hati-hati ya.”
Arin mengangguk, mencium tangan ibunya. Ayahnya sedang bertugas diluar kota. Ia bergegas pergi. Aula gedung tempat acara berlangsung sudah ramai dipenuhi teman-temannya yang tampil cantik dan tampan. Aura kedewasaan terpancar dengan sendirinya. Ia mencari-cari sosok Barra, namun bahkan batang hidungnya pun tidak terlihat. Ponselnya juga tidak aktif. Akhirnya Arin kelelahan lalu memutuskan untuk duduk saja menikmati acara di bangku paling belakang. Tanpa Barra, rasanya seperti ada yang kurang. Masa sih dia tidak hadir di hari istimewa ini? Hari terakhir bersama teman-teman SMA. Termasuk dirinya.
Sampai acara berakhir Barra tak juga muncul. Arin membuka handbag-nya, menatap sepasang sarung tangan rajutan berwarna ungu yang sengaja ia buat satu bulan yang lalu, untuk Barra. Sarung tangan yang sebelah kanan bertuliskan nama Arin, dan yang sebelah kiri bertuliskan nama Barra. Jari-jari tangannya sampai berdarah-darah karena terlalu sering tertusuk jarum saat membuat sarung tangan itu. Maklum, ia tidak pandai dalam hal rajut-merajut. Susah payah ia membuatnya, tapi ternyata Barra tidak hadir.
Semua bertepuk tangan meriah tatkala kepala sekolah mengumumkan bahwa seluruh anak didiknya lulus semua. Karena keasyikan melamun, Arin sampai tidak sadar kalau ia disuruh maju kedepan untuk menerima penghargaan karena mendapat NEM tertinggi.
Andai ada Barra.. Batin Arin berkata lirih.
Rasanya waktu berjalan begitu lambat sampai akhirnya acara itu selesai. Arin bersalam-salaman terlebih dahulu dengan guru-guru, dengan teman-temannya. Ada tangis yang mewarnai. Arin tak berlama-lama di tempat itu. Ia ingin bertemu Barra, karena itu, ia segera melajukan mobilnya kerumah tante Siska. Ia ingin pamit, karena besok ia akan pergi ke Australia, berlibur dirumah pamannya sambil mencari-cari tempat kuliah yang cocok disana.
Arin memarkir mobilnya agak jauh dari rumah tante Siska. Sepanjang jalan penuh disesaki mobil yang parkir, karena itu ia tak kebagian tempat. Tak biasanya perumahan itu ramai seperti ini. Ada acara apa sebenarnya?
Arin berjalan gontai menuju rumah tante Siska. Entah mengapa, perasaannya berubah jadi tidak enak. Tiba-tiba..
Shaat..
Ia melihat sekelebat bayangan Barra berlari menjauh. Cepat sekali ia menghilang. Entahlah, mungkin hanya imajinasi saja. Jantung Arin berdetak kencang. Matanya mendadak panas, ingin menangis. Didepan rumah ber-cat abu-abu itu terpasang bendera kuning bergoyang-goyang dimainkan angin. Siapa yang meninggal? Terlalu banyak pertanyaan yang ingin dimuntahkan oleh Arin. Ia tak berani masuk kedalam, tapi ia tak akan pernah tau apa yang sebenarnya terjadi bila hanya mematung disini. Ia melangkah perlahan. Baru saja sampai di ambang pintu, hal yang sedari tadi ia takutkan benar-benar terjadi.Air matanya langsung menderas. Sebuah peti besar, dengan Barra tertidur tenang didalamnya. Wajahnya pucat. Ia mengenakan jas hitam. Tetap tampan, tapi sudah tak bernyawa. Seharusnya jas itu ia kenakan untuk menghadiri acara perpisahan tadi. Bukan untuk tertidur didalam peti.
“Arin..” Tante Siska yang melihat kedatangan arin langsung memeluknya erat. Tante Siska juga menangis. Matanya bengkak seperti habis kena tinju. “Barra Kanker otak. Tante sendiri baru tahu. Ia tidak pernah bercerita, tidak pernah juga berusaha mengobati penyakitnya itu. Hiks. Dan sekarang, mungkin waktunya sudah tiba. Mungkin dia bisa bahagia bersama kedua orangtuanya di alam sana.”
Kepala Arin benar-benar pusing. Jadi ini yang disembunyikan oleh Barra? Bahwa ia mengidap kanker otak? Arin diam seribu bahasa. Sakit. Hatinya sakit sekali. Seperti dihancurkan berulang kali oleh tombak, hingga hanya serpihan-serpihan kecil saja yang tersisa. Ia mencoba mendekati jasad Barra.
Barra, ayolah, bicara! Kenapa kau diam saja?kau jahat! Benar-benar pergi meninggalkanku! Aku menunggumu tadi, tapi kau malah tertidur disini. Ayolah bangun. Apa kamu tidak mau merayakan kelulusan kita? Barra! Jawab! Batin Arin menjerit. Seperti orang bodoh. Jelas-jelas Barra sudah pergi. Arin mengusap lembut wajah cowok itu. Dingin sekali. Air mata terus bergulir di pipinya.
“Arin, apa setelah lulus nanti gue masih bisa ketemu lo? Bercanda-canda lagi kayak dulu? Rasanya gak mungkin.”
“Lo sahabat terbaik gue. Gue sayang lo Rin.”
Terlintas kembali kata-kata Barra sewaktu ditaman kota lalu. Kini, ia benar-benar tak akan bisa bertemu Barra lagi. Ia tidak akan bisa bertemu dengan lelaki yang selama ini ia sayang, untuk selama-lamanya.
Arin membuka handbag-nya, Mengambil sarung tangan rajutannya lalu menyimpannya di samping peti. Tiba-tiba ia merasa lehernya menjadi sangat dingin.
“Gue bakal selalu jagain lo Rin. Karena gue sayang lo.” Ucap sebuah bisikan lembut, tepat ditelinga Arin. Dan ia tahu, itu suara Barra.
Suara Dribble-an bola basket masih terdengar samar-samar diantara derasnya hujan. Dialah Barra, cowok yang nekat bermain bola basket disaat cuaca tidak memungkinkan. Seluruh tubuhnya basah diguyur hujan. Ia melakukan gerakan lay-up. Seketika bola berputar-putar mengelilingi ring basket sampai akhirnya..
Yup! Masuk.
Barra segera menangkap bola basket kesayangannya, lalu kembali mendribble-nya.
Ia hanya sendiri di lapangan sekolah yang sepi ini. selama beberapa menit ia hanya mendribble bolanya sampai akhirnya ia kelelahan lalu melempar bola basket itu dengan kencang hingga terpantul-pantul tak beraturan. “Aaarrghh!!!” Teriak cowok itu sambil menengadahkan kepalanya ke langit. Kemudian ia jatuh terduduk, menjambak-jambak rambutnya sendiri.
“Sampai kapan lo mau disini??” Ucap sebuah suara, memecah kesunyian yang sedari tadi menyelimuti. Barra menoleh kebelakang dan mendapati seorang cewek berpayung merah muda dengan motif hati berwarna ungu sedang menatapnya iba.
“Arin..” Gumam Barra untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa makhluk yang ia lihat saat ini adalah Arin, sahabatnya. Barra bangkit berdiri, memelototi cewek itu. “Ngapain lo masih disini? Cewek idiot! Udah gue bilang, gue lagi pengen sendiri! Jangan ganggu gue! Pergiiii!!!” Teriak Barra, berusaha menyaingi suara hujan yang semakin deras.
“Tapi lo bisa sakit, ra. Please, kali ini aja, dengerin gue. Gue tau ini berat buat lo, tapi lo harus kuat. Lo tuh udah kayak orang depresi tau gak? Sekarang, pulang yuk. Ayo, ikut sama gue.” Arin mengulurkan tangannya.
Barra tetap acuh. “Gue emang udah depresi. Mungkin sebentar lagi gue bakal jadi gila.” Ucap Barra dengan tatapan kosong. “Kenapa? Kenapa tuhan itu nggak pernah adil sama gue?? Dua tahun yang lalu, tuhan ngambil ayah dari gue. Sekarang?? Sekarang tuhan ngambil nyokap gue! Nyokap gue, rin! Orang yang paling berharga dalam hidup gue, sekarang udah gak ada. Kali ini gue bener-bener sendiri. Gue gak punya siapa-siapa!”
Arin menatap Barra lirih. Seandainya ia yang berada di posisi Barra, mungkin fikirannya sudah kacau dan akan memutuskan untuk bunuh diri. Tindakkan bodoh. Untung saja Barra bukan tipe lelaki yang suka bertindak konyol.
“Kenapa nggak gue aja yang pergi?? KENAPA??” Jeritan Barra terdengar putus asa. Arin refleks memeluk pria itu. Payung yang sedari tadi ia genggam terlepas dari tangannya, diterbangkan oleh angin.
“lo ngomong apa sih? Kemana Barra yang gue kenal? Yang selalu kuat, yang selalu tegar, yang nggak lembek dalam menjalani hidup? Masih banyak yang sayang sama lo, Ra.” Arin berusaha menguatkan.
Air mata mengalir dipipi Barra bersamaan dengan tetesan hujan yang membasahi wajahnya. “Untuk kali ini aja Rin, izinin gue buat nangis. Untuk kali ini aja..” Bisik Barra, lirih. Arin mengangguk. Pelukannya semakin erat.
***
Arin:
Aku dan Barra bersahabat sejak duduk di bangku SMP. Awalnya, ku fikir Barra adalah cowok dingin yang sombong, angkuh, dan tidak punya perasaan. Tapi penilaianku terhadapnya ternyata salah besar ketika suatu hari..
“Heh, cewek belagu, sini lo!” Teriak sebuah suara cempreng yang memanggilku dengan sinisnya.
Aku menoleh. Ternyata kak Veril dan genk-nya. Aku kenal mereka. Bukan hanya aku, mungkin seisi sekolah juga kenal dengan mereka. Bagaimana tidak, kak Veril adalah penyumbang dana terbesar untuk yayasan sekolah kami. Dia cantik, tinggi putih, ketua cherleader, dan tentunya-ehm-tajir. Banyak cowok-cowok yang mendekatinya, tapi akhirnya mereka semua hanya bertahan tidak lebih dari dua minggu. Dan sekarang, mau apa dia memanggilku?
Aku menghampirinya ragu, berusaha bersikap biasa, padahal dalam hati takut setengah mati. Di hari pertama mengenakan seragam putih-biru, kenapa harus mendapatkan masalah? Dengan orang seperti kak Veril pula. “Kenapa kak?”
“Nama lo siapa?” Tanya kak Veril dengan wajah angkuhnya. Teman-temannya melirikku jijik, dan aku tidak suka dengan suasana seperti ini.
“Arin. Arinda putri wijaya.”
“Oh. Namanya pasaran ya? Hmm.. oke, gue Cuma mau bilang, kalau gue gak suka liat cara jalan lo! Lo itu masih kelas satu, jadi jangan sok deh! Terus baju lo. Sengaja lo kecilin, ya? Lo mau nyaingin gue? Lo fikir lo cantik apa??”
DEG! Mukaku langsung panas. Apa yang salah? Hanya karena caraku berjalan, dan bajuku ini, lalu dia marah-marah? Aku menatapnya kesal. Siapapun dia, aku tak suka di perlakukan seperti ini.
“Apa lo liat-liat? Nantangin gue lo?!”Jerit Veril tepat di depan mukaku, membuat orang-orang mengerumuni kami.
“Jadi kakak marah-marah sama saya Cuma karena masalah itu doang? Sepele banget sih kak. Kakak juga nyadar diri dong, emangnya kakak sendiri cantik?”
Veril melotot. Tangannya terayun, siap menamparku. Aku memejamkan mata, pasrah menanggung malu yang menggunung. Tapi..
“Stop!” Aku tersentak. Seorang cowok berperawakan tinggi tegap sudah berdiri dihadapanku, mencengkram erat lengan Veril. “Jangan mentang-mentang lo senior, dan kita junior, lo jadi seenaknya sama kita. Bagi gue semuanya sama.” Tegas cowok itu sambil mendorong Veril dan melepas cengkramannya.
Veril ingin mengamuk. Tapi amarahnya tertahan ketika ia tahu bahwa cowok itu adalah Barra, adik kelas yang sejak masa MOS lalu ditaksirnya.
“Awas lo ya, masalah kita belum selesai.” Bentak Veril sambil berlalu pergi diikuti kawanannya.
“Huuu..” Teriak semua orang pada Veril. Satu-persatu kerumunan itu pergi dan akhirnya menghilang.
“Makasih.” Ucapku saat itu sambil tersenyum pada Barra. Sejak saat itu, aku kagum padanya. Dan sejak saat itu pula, kami berdua seperti tak terpisahkan. Hingga akhirnya kami menjadi begitu sangat dekat.
Barra, enam tahun bukanlah waktu yang sebentar. Sebagai seorang wanita, perlahan-lahan perasaanku padanya berubah. Aku menyayanginya, bukan hanya sebagai seorang sahabat. Aku menyayanginya lebih dari itu. Aku ingin memilikinya, ingin selalu berada di dekatnya. Tapi aku takut. Aku takut bila barra mengetahui perasaanku yang sebenarnya, ia akan menjauh dariku, sama seperti gadis-gadis lainnya. Jadi, aku lebih memilih untuk memendamnya saja. Entah sampai kapan.
***
“Hey, Barra, mau kemana buru-buru pergi?” Arin berlari mengejar Barra yang sudah melangkah jauh. Tidak biasanya cowok itu bersikap dingin padanya. “Barra!”
Barra menoleh dengan tatapan malas, tanpa ekspresi. Ia menatap Arin yang menghampirinya dengan susah payah. “Apa?” Tanya cowok itu setelah Arin berhasil menjajari langkahnya. Mereka kembali berjalan.
“Lo mau langsung pulang?” Tanya Arin sambil mengatur nafasnya yang terengah-engah. Yang dimaksud pulang adalah pulang ke rumah tantenya. Sejak menjadi yatim piatu, Barra tinggal bersama tantenya yang seorang janda dan tidak mempunyai anak.
“Entahlah.”
Arin menatap Barra. Ada yang lain di wajah tampan itu. Seperti ada beban yang amat sangat berat bergelayutan dibahu cowok itu. “Barra, kalau lo lagi ada masalah, lo bisa cerita sama gue. Bukan baru kemarin gue kenal lo. Gue hafal banget sifat lo. Sejak tadi pagi lo berubah jadi pendiem. Dan kalau kayak gini, pasti lo lagi ada masalah dan mendem masalah itu sendirian. Ayolah, siapa tau gue bisa ngasih solusi?”
Barra kembali menatap Arin dengan malas. “Lo sok tau.” Ucapnya sambil melangkah lebih cepat.
Arin terdiam. Ia berhenti mengejar Barra. Ada apa sebenarnya dengan cowok itu? Yang tadi itu seperti bukan Barra. Sikapnya benar-benar berbeda. Arin menatap punggung cowok itu yang semakin menjauh, lalu akhirnya hilang dari pandangan.
***
“Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada diluar service area. Cobalah beberapa saat lagi.”
Nit!
Arin menekan tombol merah di handphone-nya. Ia berusaha menghubungi Barra, namun sedari tadi hanya suara operator yang terdengar. Ponsel Barra tidak aktif. Sekali lagi, ini tidak seperti biasanya. Akhirnya Arin menghubungi nomor rumah tante Siska, tante-nya Barra.
“Halo, selamat malam?” Sapa suara disebrang dengan nada ramah.
“Selamat malam tante. Aku Arin, temannya Barra. Barra-nya ada tante? Dari tadi aku hubungi ponselnya tapi gak aktif.”
“Oh, nak Arin. Kalau tidak salah, tadi Barra bilang dia mau ke taman kota. Gak tau deh dia ngapain malam-malam begini ke taman. Tadi sih dia perginya bawa mobil.”
Arin terdiam. Benar dugaannya, pasti ada yang disembunyikan. “Gitu ya. Yaudah deh tante. Makasih ya.”
“Iya, sama-sama.”
Tut.. tut.. tut..
Telpon diputus. Arin menghela nafas setelah akhirnya ia memutuskan untuk menyusul Barra ke taman kota.
***
Malam ini dingin sekali. Berkali-kali Arin terbatuk lalu merapatkan jaketnya. Ternyata taman kota tidak sesepi yang ia bayangkan. Ia baru ingat kalau hari ini adalah hari sabtu, malam minggu. Tidak sulit mencari sosok Barra ditengah banyaknya orang yang berlalu lalang, karena sebelumnya ia juga sering menemani Barra kesini, dan mereka selalu memilih tempat di dekat air mancur yang sekelilingnya dihiasi lampu-lampu terang warna-warni.
“jahat ya lo, gak bilang-bilang kalau mau ke taman kota.” Ucap Arin secara tiba-tiba, membuat Barra tersentak kaget, terbangun dari lamunannya. Ia segera duduk disebelah Barra, dibangku taman yang nyaman.
“Lo tuh ganggu gue terus deh!”
Arin tersenyum, tak peduli dengan amukan Barra. Angin malam membelai wajahnya, menyapu rambut lurusnya yang terurai panjang. Ia menatap Barra. “Hey, lo nangis?” Seketika senyum Arin memudar.
Barra memalingkan wajah.
“Barra, sebenarnya ada apa sih?”
“Arin, lo tau gak, seberapa sayangnya gue sama lo?”
Deg! Jantung Arin seperti berhenti berdetak. Mukanya memerah.
“Mungkin untuk saat ini, lo adalah harta terindah buat gue, setelah tante gue tentunya. Lo gak tau gimana rasanya kehilangan orang yang kita sayang. Nyokap gue pergi, Bokap gue pergi, dan setelah ini, gue harus kehilangan lo Rin. Bentar lagi kita lulus. Kita sekarang bukan anak kecil lagi. Setelah ini, kita bakal tau apa itu hidup yang sebenarnya. Gak bakal lagi ngerasain serunya pakai seragam putih-abu, gak bakal lagi bisa ketawa-ketawa sama temen sekelas, gak bisa lagi ngejailin guru, dan yang paling penting, gue gak bisa lagi denger tawa manja lo.”
Arin menggigit bibir. Itukah penyebab berubahnya sikap Barra? Hanya karena takut kehilangan dirinya? Ah, rasanya tidak mungkin. Pasti lebih dari itu.
“Arin, apa setelah lulus nanti gue masih bisa ketemu lo? Bercanda-canda lagi kayak dulu?” Tanya Barra sambil menerawang, lebih ditujukan untuk dirinya sendiri.
“Ya, tentu. Kita masih bisa ketemu. Gue bakal sering-sering main kerumah tante lo. Karena gue juga gak bisa jauh-jauh dari lo.”
Barra tersenyum. “Rasanya gak mungkin.”
Arin hanya mengernyit bingung mendengar pernyataan Barra. Tapi ia enggan menanyakan alasannya. Hawa dingin kembali menyeruak, membuat Arin kembali merapatkan jaketnya. “Pinjem bahu lo.” Ucapnya polos, sambil bersandar di bahu Barra.
Barra tersenyum melihat tingkah Arin. “Lo sahabat terbaik gue. Gue sayang lo Rin.” Bisik Barra, lalu merangkul Arin.
Arin memejamkan matanya. Nyaman sekali. Rasanya ingin seperti ini terus. Rasanya tak ingin berpisah dari Barra. Tapi, bukankah setiap ada pertemuan pasti ada perpisahan?
Ah, Barra, seandainya lo tau, gue sayang sama lo lebih dari yang lo kira. Gue gak mau kehilangan lo.
***
Dan hari ini akhirnya tiba. Hari kelulusan, sekaligus perpisahan. Arin tak henti-hentinya berdecak kagum menatap bayangan dirinya di cermin. Benar-benar berbeda dengan Kepribadian Arin yang biasanya cuek, sradak-sruduk, dan rada tomboy. Hari ini ia tampil berbeda. Celana jeans-nya diganti dengan kain songket berwarna krem dengan motif bunga yang menghiasinya, lalu t-shirt lusuhnya diganti dengan kebaya cantik warna senada. Rambut panjangnya yang biasanya dikuncir asal-asalan kini di cepol atas. Lalu wajahnya, Arin benar-benar tak mengenali dirinya sendiri. Make-up natural menyapu wajahnya yang manis. Hidungnya terlihat lebih mancung dari bentuk aslinya. Mama sampai berulang kali berteriak karena sedari tadi yang dilakukannya hanya bercermin dan bercermin.
“Kamu itu, lelet banget deh. Ayo cepat sarapan dulu. Nanti kamu terlambat.”
Arin cengengesan gak jelas, lalu berjalan cepat ke meja makan. Mama mengerutkan alis menatap tingkah Arin. “E,e,eh, udah cantik-cantik pakai kebaya, kok jalannya masih kayak preman gitu sih? Yang anggun dong.”
Sekali lagi Arin terkekeh, lalu cepat-cepat menyambar roti panggang dihadapannya. “Ternyata aku gak jelek-jelek banget ya? Hahaha..”
“Siapa dulu ibunya. Udah ah, dari tadi kamu ketawa-ketawa terus. Nanti nangis loh!”
Arin terdiam. Ia jadi ingat Barra. Kemana cowok itu? Tidak ada sms, tidak ada telpon, tidak ada kabar. Bukankah sebelumnya Barra janji akan menjemputnya?
“Ma, aku berangkat sekarang ya.”
“Nggak di jemput Barra?”
“Kayaknya nggak deh, udah sesiang ini. Mungkin Barra udah berangkat duluan.”
“Ya sudah. Hati-hati ya.”
Arin mengangguk, mencium tangan ibunya. Ayahnya sedang bertugas diluar kota. Ia bergegas pergi. Aula gedung tempat acara berlangsung sudah ramai dipenuhi teman-temannya yang tampil cantik dan tampan. Aura kedewasaan terpancar dengan sendirinya. Ia mencari-cari sosok Barra, namun bahkan batang hidungnya pun tidak terlihat. Ponselnya juga tidak aktif. Akhirnya Arin kelelahan lalu memutuskan untuk duduk saja menikmati acara di bangku paling belakang. Tanpa Barra, rasanya seperti ada yang kurang. Masa sih dia tidak hadir di hari istimewa ini? Hari terakhir bersama teman-teman SMA. Termasuk dirinya.
Sampai acara berakhir Barra tak juga muncul. Arin membuka handbag-nya, menatap sepasang sarung tangan rajutan berwarna ungu yang sengaja ia buat satu bulan yang lalu, untuk Barra. Sarung tangan yang sebelah kanan bertuliskan nama Arin, dan yang sebelah kiri bertuliskan nama Barra. Jari-jari tangannya sampai berdarah-darah karena terlalu sering tertusuk jarum saat membuat sarung tangan itu. Maklum, ia tidak pandai dalam hal rajut-merajut. Susah payah ia membuatnya, tapi ternyata Barra tidak hadir.
Semua bertepuk tangan meriah tatkala kepala sekolah mengumumkan bahwa seluruh anak didiknya lulus semua. Karena keasyikan melamun, Arin sampai tidak sadar kalau ia disuruh maju kedepan untuk menerima penghargaan karena mendapat NEM tertinggi.
Andai ada Barra.. Batin Arin berkata lirih.
Rasanya waktu berjalan begitu lambat sampai akhirnya acara itu selesai. Arin bersalam-salaman terlebih dahulu dengan guru-guru, dengan teman-temannya. Ada tangis yang mewarnai. Arin tak berlama-lama di tempat itu. Ia ingin bertemu Barra, karena itu, ia segera melajukan mobilnya kerumah tante Siska. Ia ingin pamit, karena besok ia akan pergi ke Australia, berlibur dirumah pamannya sambil mencari-cari tempat kuliah yang cocok disana.
Arin memarkir mobilnya agak jauh dari rumah tante Siska. Sepanjang jalan penuh disesaki mobil yang parkir, karena itu ia tak kebagian tempat. Tak biasanya perumahan itu ramai seperti ini. Ada acara apa sebenarnya?
Arin berjalan gontai menuju rumah tante Siska. Entah mengapa, perasaannya berubah jadi tidak enak. Tiba-tiba..
Shaat..
Ia melihat sekelebat bayangan Barra berlari menjauh. Cepat sekali ia menghilang. Entahlah, mungkin hanya imajinasi saja. Jantung Arin berdetak kencang. Matanya mendadak panas, ingin menangis. Didepan rumah ber-cat abu-abu itu terpasang bendera kuning bergoyang-goyang dimainkan angin. Siapa yang meninggal? Terlalu banyak pertanyaan yang ingin dimuntahkan oleh Arin. Ia tak berani masuk kedalam, tapi ia tak akan pernah tau apa yang sebenarnya terjadi bila hanya mematung disini. Ia melangkah perlahan. Baru saja sampai di ambang pintu, hal yang sedari tadi ia takutkan benar-benar terjadi.Air matanya langsung menderas. Sebuah peti besar, dengan Barra tertidur tenang didalamnya. Wajahnya pucat. Ia mengenakan jas hitam. Tetap tampan, tapi sudah tak bernyawa. Seharusnya jas itu ia kenakan untuk menghadiri acara perpisahan tadi. Bukan untuk tertidur didalam peti.
“Arin..” Tante Siska yang melihat kedatangan arin langsung memeluknya erat. Tante Siska juga menangis. Matanya bengkak seperti habis kena tinju. “Barra Kanker otak. Tante sendiri baru tahu. Ia tidak pernah bercerita, tidak pernah juga berusaha mengobati penyakitnya itu. Hiks. Dan sekarang, mungkin waktunya sudah tiba. Mungkin dia bisa bahagia bersama kedua orangtuanya di alam sana.”
Kepala Arin benar-benar pusing. Jadi ini yang disembunyikan oleh Barra? Bahwa ia mengidap kanker otak? Arin diam seribu bahasa. Sakit. Hatinya sakit sekali. Seperti dihancurkan berulang kali oleh tombak, hingga hanya serpihan-serpihan kecil saja yang tersisa. Ia mencoba mendekati jasad Barra.
Barra, ayolah, bicara! Kenapa kau diam saja?kau jahat! Benar-benar pergi meninggalkanku! Aku menunggumu tadi, tapi kau malah tertidur disini. Ayolah bangun. Apa kamu tidak mau merayakan kelulusan kita? Barra! Jawab! Batin Arin menjerit. Seperti orang bodoh. Jelas-jelas Barra sudah pergi. Arin mengusap lembut wajah cowok itu. Dingin sekali. Air mata terus bergulir di pipinya.
“Arin, apa setelah lulus nanti gue masih bisa ketemu lo? Bercanda-canda lagi kayak dulu? Rasanya gak mungkin.”
“Lo sahabat terbaik gue. Gue sayang lo Rin.”
Terlintas kembali kata-kata Barra sewaktu ditaman kota lalu. Kini, ia benar-benar tak akan bisa bertemu Barra lagi. Ia tidak akan bisa bertemu dengan lelaki yang selama ini ia sayang, untuk selama-lamanya.
Arin membuka handbag-nya, Mengambil sarung tangan rajutannya lalu menyimpannya di samping peti. Tiba-tiba ia merasa lehernya menjadi sangat dingin.
“Gue bakal selalu jagain lo Rin. Karena gue sayang lo.” Ucap sebuah bisikan lembut, tepat ditelinga Arin. Dan ia tahu, itu suara Barra.
flashback
My first note J
Hallo hallo hallo, did you knooow? Jadi, kemaren itu tanggal 22 September 2011, hari anniversary gue sama Andyka puruhata yang ke-2 bulan. Okelah, usia pacaran kita emang belum lama, masih seujung kuku kali dibanding temen temen gue yang pacarannya udah pada hampir satu taunan gitulah. Grrr, envy gueee! Tapi gue percaya, dika itu cowok baik-baik, bisa ngejaga gue, bisa ngertiin gue, pokoknya the best lah. Ahaha. Aduuuh, gue jadi kepikiran deh tentang tanggal 22 dua bulan yang lalu.
Flashback…
Jadi, gue adalah childish girl yang terperangkap masuk ke sekolah asrama yang namanya Krida Nusantara yang terletak di daerah terpencil Bandung , tepatnya di kawasan Cibiru. Kalo di peta, lo semua harus liat pake kaca pembesar dulu baru lo bisa tau dimana daerah Cibiru itu berada. Awalnya, gue ngerasa gak ada gunanya banget sekolah di situ. Tiap hari gue homesick lah, kangen rumah, kangen mama papa adek-adek gue yang biasanya tiap hari gue jitakin, kangen temen-temen SMP juga. Pokoknya bete banget deh. Apalagi masa masa kelas satu tuh lagi berat-beratnya banget. Bayangin dong, gue gak boleh ketemu sama orang tua gue selama 3 bulan pertama, bahkan nelfon pun gak boleh. Selama tiga bulan itu gue bener bener Katro banget gak tau keadaan dunia luar. Ditambah lagi rambut gue dipotong pendek banget terus kulit gue jadi item-item gitu. Oh god, pokoknya kalo cerita soal masa basis gak bakal ada abisnya deh. Tapi sekarang gue udah cantik lagi dong. Wakakak.
Nah, jadi waktu itu tuh gue ada di kelas X-2, kelas suram dengan orang orang yang suram dan kabinet pemerintahan pengurus kelas yang suram juga. Apalagi waktu masa jabatan KM ada di tangan Reno -temen gue yang badung naudzubillah terus juga ngeselin ditambah tukang kentut pula- itu tuh bener bener puncaknya kesuraman X-2. Tapi X-2 asik kok, pokoknya unforgotable moment lah bareng X-2. Terus, ceritanya X-2 tuh kalo apa apa bareng X-8 terus. Olahraga bareng, Belajar malem diperpus atau diwarnet bareng, pokoknya gak tau lah barengan terus gitu. Nah, di X-8 tuh ada cowok namanya Andyka. Awalnya gue gak tau bahkan gak kenal sama sekali. Sumpah deh. Nah, gara-gara temen gue si Dewi Rahayu pernah bilang “Ghe, kalo diperhatiin kayaknya Andyka ganteng juga ya.” Gue jadi suka merhatiin tuh orang. Ternyata bener juga sih sama apa yang dibilang Dewi. Sejak itulah gue suka sama dia. Awalnya suka biasa doang, tapi lama-lama gara-gara di cie ciein mulu gue juga jadi kayak ikutan maniak gitu. Ahaha lebay deh gue. Tapi ini serius. Sumpah ya, gue sama dika tuh gak pernah yang namanya ngobrol, sapa-sapaan atau apalah, itu tuh gak pernah sama sekali. Lagian kayaknya juga dikanya bodo amat sama gue. Sampai akhirnya, kita ternyata sama sama kepilih jadi anggota PASKASIS alias Pasukan Keamanan Siswa, organisasi yang mungkin Cuma ada di Krida Nusantara yang tugasnya ya sesuai namanya, ngamanin siswa. Sampai akhirnya, waktu kelas dua belas mau wisuda, kita para PASKASIS tuh suruh tugas gitu. Nah disitulah abang abang mulai pada tau ternyata gue suka sama Andyka. Alhasil, jadilah gue sama dia di jodoh jodohin terus. Awalnya sih gue ngerasa risih gitu tapi seneng sih, abisnya dika nya kayak gitu sih, cuek cuek gimanaaa gitu. Sampai akhirnya datanglah hari kejayaan gue, yaitu hari dimana gue bisa IB (Izin Berlibur). Tapi Dika gak IB, soalnya dia jadi panitia basis.
Suatu hari dimalam kamis yang sunyi (ciaelah), gak tau kenapa rasanya gue pengeeen banget buka facebook. Pas gue buka, ternyata dika lagi online. Betapa senengnya gue waktu itu. Berarti dia udah balik IB. gue langsung chat dia. Pertamanya sok basa basi gitu, eh akhirnya keterusan nyampe akhirnya dia minta no hape gue. Ahaha. Yaudah tuh, kita smsan, pdkt lamaaa banget. Tapi dia tuh kayak mau mau nggak gitu. Kan guenya juga bingung.
Akhirnya IB berakhir juga. Seminggu setelah IB, para PASKASIS mau di kukuhin gitu. Jadi, kita tuh jalan gitu sekitar 20 KM dari Krida nyampe Kiara Payung, tempat perkemahan di deket UNPAD gitulah. Bayangin dong, kita tuh JALAN KAKI. Tapi gak tau kenapa, rasanya gak capek sama sekali. Ya iyalah, orang sepanjang jalan gue ngobrol terus sama dika.
Terus, waktu malem api unggun, abang abang tuh pada nyanyi nyanyi maen gitar gitu. Eh tiba tiba dika maju ke dfepan, sambil bawa bawa obor coba. Teruuus, Dias ok sok mengibarkan obornya itu dan bilang: “Malam ini saya akan menyatakan sesuatu pada seseorang”. Semuanya diem. Gue langsung dag-dig-dug gitu. Gue udah tau apa yang bakal dia omongin. : “Saya telah jatuh cinta pada seseorang, yaitu..” Buset dah, gue tambah deg degan aja dah. “…Ghaesanie putrid pujasari” Whoaaa Whoaaa. Semuanya langsung pada teriak gitu, terus bang Jack langsung nyanyiin lagu resiko orang cantik. Wakakak kocak dah. Terus kan gue maju juga ya, akhirnya gue bilang aja: “Sorry, bukannya gimana gimana, kita kan satu organisasi, sama sama PASKASIS, jadi.. kayaknya gue gak bisa deh” Semuanya langsung pada ngedesah kecewa gitu. “…gak bisa nolak maksudnya.” Lanjut gue. Hening beberapa saat. Whoaaa Whoaa semuanya langsung heboh lagi. Gue senyam senyum aja. Mulai saat itu, gue resmi jadi ceweknya Andyka puruhata, orang yang selama ini Cuma bisa gue pandangin dari jauh, yang gak pernah sama sekali ngobrol sama dia.
Sekarang, gue udah dua bulan sama Dika. Gue harap, sampai wisuda nanti semuanya bakal tetep sama. Aku sayang dika J
Subscribe to:
Posts (Atom)